Faktor Psikologi Terhadap Penyesuaian Diri
Banyak sekali factor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri, diantaranya adalah: pengalaman, belajar, kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, dan frustasi.1) Pengalaman
Tidak semua pengalaman mempunyai arti bagi penyesuaian diri. Pengalaman-pengalaman tertentu yang mempunyai arti dalam penyesuaian diri adalah pengalaman yang menyenangkan dan pengalaman traumatic (menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan misalnya memperoleh hadiah dalam suatu kegiatan, cenderung akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik, dan sebaiknya pengalaman traumatic akan menimbulkan penyesuaian yag kurang baik.
2) Belajar
Proses belajar merupakan suatu proses dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri, karena melalui belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang membentuk kepribadian. Sebagian besar respon-respon dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak yang diperoleh dari proses belajar daripada yang diperoleh secara diwariskan. Dalam proses penyesuaian diri belajar merupakan suatu proses modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan berlangsung terus sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan.
3) Determinasi diri
Dalam proses penyesuaian diri, disamping ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas, orangnya itu sendiri menentukan dirinya, terdapat faktor kekuatan yang mendorong untuk mencapai sesuatu yang baik atau buruk, untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi, dan atau merusak diri. Faktor-faktor itulah yang disebut determinasi diri.
Determinasi diri mempunyai peranan yang penting dalam proses penyesuaian diri karena mempunyai peranan dalam pengendalian arah dan pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan olh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya, meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian dirinya. Ada beberapa orang dewasa yang mengalami penolakan ketika masa kanak-kanak, tetapi mereka dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif karena dapat menentukan sikap atau arah dirinya sendiri.
4) Konflik dan penyesuaian
Tanpa memperhatikan tipe-tipe konflik, mekanisme konflik secara esensial sama yaitu pertentangan antara motif-motif. Efek konflik pada perilaku akan tergantung sebagian pada sifat konflik itu sendiri. Ada beberapa pandangan bahwa semua konflik bersifat mengganggu atau merugikan. Namun dalam kenyataan ada juga seseorang yang mempunyai banyak konflik tanpa hasil-hasil yang merusak atau merugikan. Sebenarnya, beberapa konflik dapat bermanfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan.
Konsep Penyesuaian Diri
Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang
individu terletak pada sejauhmana hal yang telah dipelajari dpat membantunya
dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan
masyarakat. Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme
yang aktif dengan tujuan aktivitas yang berkesinambungan. Ia berusaha untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi
peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya, penyesuaian diri
secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.
1. Konsep
Penyesuaian Diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan
sebagai adaptasi dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa survive
dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan
relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan
sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau
prinsip. Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat
rencana dan mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa
mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara
efisien.
Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas
hidup dengan cara yang memenuhi syarat. Penyesuaian sebagai penguasaan dan
kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif
memiliki responss emosional yang tepat pada setiap situasi. Disimpulkan bahwa
penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri
dan pada lingkungannya.
2. Proses
Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu
mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan.
Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai.
Penyesuaian yang terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan seimbang
antara dirnya dengan lingkungannya dimana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak
terpenuhi, dan dimana semua fungsi organisme/individu berjalan normal. Sekali
lagi, bahwa penyesuaian yang sempurna itu tidak pernah dapat dicapai. Karena
itu penyesuaian diri lebih bersifat sutau proses sepanjang hayat (lifelong
process), dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respons penyesuaian, baik atau buruk, secara
sederhana dapat dipandang sebagai sutau upaya individu untuk mereduksi atau
menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan sutau
proses kearah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan
eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat saja muncul konflik, tekanan,
dan frustasi dan individu didorong meneliti berbagai kemungkinan perilaku untuk
membebaskan diri dari tegangan. Individu dikatakan berhasil dalam melakukan
penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang
wajar atau apabila dapat diterima oleh lingkungan tanpa merugikan atau
mengganggu lingkungannya.
3. Karakteristik
Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan
penyesuaian diri, karen kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang
menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu
mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya. Dalam hubungannya
dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan
penyesuaian diri secara positif, namun adapula individu-individu yang melakukan
penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik
penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah.
1. Penyesuaian
Diri secara Positif
Mereka yang tergolong mampu melakukan penyesuaian
diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak
menunjukkan adanya ketegangan emosional,
2. Tidak
menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis,
3. Tidak
menunjukkan adanya frustasi pribadi,
4. Memiliki
pertimbangan rasional dan pengarahan diri,
5. Mampu
dalam belajar,
6. Menghargai
pengalaman,
7. Bersikap
realistik dan objektif.
Melakukan penyesuaian diri secara positif,
individu akan melakukan dalam berbagai bentuk, antara lain:
1. Penyesuaian
dengan menghadapi masalah secara langsung,
2. Penyesuaian
dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan),
3. Penyesuaian
dengan trial and error atau coba-coba,
4. Penyesuaian
dengan substansi (mencari pengganti),
5. Penyesuaian
diri dengan menggali kemampuan diri,
6. Penyesuaian
dengan belajar,
7. Penyesuaian
dengan inhibis dan pengendalian diri,
8. Penyesuaian
dengan perencanaan yang cermat.
2. Penyesuaian
Diri yang Salah
Ada
tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu:
1. Reaksi
Bertahan
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya,
seolah-olah tidak menghadapi kegagalan, ia selalu berusaha untuk menunjukkan
bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
§
Rasionalisasi,
§
Represi,
§
Proyeksi,
2. Reaksi
menyerang
Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:
§
Selalu membenarkan diri sendiri,
§
Mau berkuasa dalam setiap situasi,
§
Bersikap senang mengganggu orang lain,
§
Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan
perbuatan,
§
Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka,
§
Menunjukkan sikap menyerang dan merusak,
§
Keras kepala dalam perbuatannya,
§
Bersikap balas dendam,
§
Memperkosa hak orang lain,
§
Tindakan yang serampangan,
§
Marah secara sadis.
3. Reaksi
Melarikan Diri
Reaksi ini orang yang mempunyai penyesuaian diri
yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalan,
reaksinya tampak dalam tingkah laku sebagai berikut : berfantasi yaitu
memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah
sudah tercapai), banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu
ganja, narkotika dan regresi, yaitu kembali kepada tingkah laku yang semodel
dengan tingkat perkembangan yang lebih awal (misal orang dewasa yang bersikap
dan berwatak seperti anak kecil).
4. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi
sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang
mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian. Secara
sekunder proses penyesuaian ditentukan oleh faktor-faktor yang menentukan
kepribadian itu sendiri baik internal maupun eksternal. Penentu penyesuaian
identik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya
pribadi secara bertahap.
Penentu-penentu itu dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
§
Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya
keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan sistem otot,
kesehatan, dan penyakit,
§
Perkembangan dan kematangan, khususnya
kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional,
§
Penentu psikologis, termasuk didalamnya
pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penentu diri (self-determination),
frustrasi, dan konflik,
§
Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan
sekolah.
§
Penentu kultural, termasuk agama.
Pemahaman tentang faktor-faktor ini dan bagaimana
fungsinya dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian,
karena penyesuaian tumbuh dari hubungan-hubungan antara faktor-faktor ini dan
tuntutan individu.
1. Kondisi
Jasmaniah
Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur /
konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek
perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi
tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang tinggi antara
tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe tempramen (Surya, 1977). Misalnya orang
yang tergolong ekstomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapuh, ditandai
dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, dan pemilu.
Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi
primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar,
dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa gangguan dalam sisitem saraf, kelenjar, dan otot
dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian.
Dengan demikian, kondisi sistem tubuh yang baik merupakan syaraf bagi
tercapainya proses penyesuaian diri yang baik.
Disamping itu, kesehatan dan penyakit jasmaniah
juga berhubungan dengan penyesuaian diri, kualitas penyesuaian diri yang baik
hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang
baik pula. Ini berarti bahwa gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh
seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya.
2. Perkembangan,
Kematangan, dan Penyesuaian diri
Respons anak pada proses perkembangan, berkembang
dari respons yang bersifat instinkif menjadi respons yang diperoleh melalui
belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia perubahan dan perkembangan
respons, tidak hanya melalui proses belajar saja melainkan anak juga menjadi
matang untuk melakukan respons dan ini menentukan pola-pola penyesuaian
dirinya. Sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan berbeda antara
individu yang satu dengan lainnya, sehingga pencapaian pola-pola penyesuaian
diri pun berbeda pula secara individual. Dengan kata lain, pola penyesuaian
diri akan bervariasi susuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang
dicapainya dalam fase tertentu salah satu aspek mungkin lebih penting dari aspek
lainnya. Misalnya pertumbuhan moral lebih penting dari pada kematangan sosial,
dan kematangan emosional merupakan yang terpenting dalam penyesuaian diri.
3. Penentu
Psikologis pada Penyesuaian Diri
Banyak sekali faktor psikologis yang mempengaruhi
penyesuai diri, diantaranya adalah pengalaman, belajar, kebutuhan-kebutuhan,
determinasi diri, dan frustrasi.
1. Pengalaman
Tidak semua pengalaman mempunyai arti bagi
penyesuaian diri. Pengalaman-pengalaman tertentu yang memiliki arti dalam
penyesuaian diri adalah pengalaman menyenangkan dan pengalaman traumatik
(menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan misalnya mendapatkan hadiah dalam
satu kegiatan, cenderung akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik,
dan sebaliknya pengalaman traumatik akan menimbulkan penyesuaian yang kurang
baik atau mungkin salah suai.
Proses belajar merupakan suatu dasar yang
fundamental dalam penyesuaian diri, karena melalui belajar ini akan berkembang
pola-pola respons yang akan membentuk kepribadian. Sebagian besar
respons-respons dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak yang diperoleh dari
proses belajar dari pada secara diwariskan. Dalam proses penyesuaian diri
merupakan suatu proses modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan
berlangsung terus sepanjang hayatdan diperkuat dengan kematangan.
2. Determinasi
diri
Determinasi ini mempunyai peranan penting dalam
proses penyesuaian diri karena mempunyai peranan dalam pengendalian arah dan
pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri akan banyak
ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya.
Meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian
dirinya.
3. Konflik
dan penyesuaian
Tanpa memperhatikan tipe-tipe konflik, mekanisme
konflik secara esensial sama yaitu pertentangan antara motif-motif. Efek
konflik pada prilaku akan bergantung sebagian ada sifat konflik itu sendiri. Ada beberapa pandangan
bahwa bahwa semua konflik bersifat menggangu atau merugikan. Namun dalam
kenyataan ada juga seseorang yang mempunyai banyak konflik tanpa hasil-hasil
yang merusak atau merugikan. Sebenarnya ada beberapa konflik dapat bermanfaat
memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan. Cara seseorang mengatasi
konfliknya dengan meningkatkan usaha kearah pencapaian tujuan yang menguntungkan
secara sosial. Atau mungkin sebalikuya ia memecahkan konflik dengan melarikan
diri, khususnya ke dalam gejala-gejala neurotis.
4. Lingkungan
sebagai Penentu Penyesuaian Diri
Berbagai lingkungan anak seperti keluarga dan
pola hubungan didalamnya, sekolah, masyarakat, kultur, dan agama berpengaruh
terhadap penyesuaian diri anak.
1. Pengaruh
rumah dan keluarga
Dari sekian banyak faktor yang mengkondisikan
penyesuaian diri. Faktor rumah dan keluarga merupakan faktor yang sangat
penting. Kerena keluarga merupakan satuan kelompok sosial terkecil. Interaksi
sosial yang pertama diperoleh individu adalah dalam keluarga. Kemampuan
interaksi sosial ini kemudian akan dikembangkan di masyarakat.
2. Hubungan
orang tua dan anak
Pola hubungan antara orang tua dengan anak akan
berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri anak-anak. Beberapa pola hubungan
yang dapat dipengaruhi penyesuai diri antara lain :
1. Menerima
(acceptance),
2. Menghukum
dan disiplin yang berlebihan,
3. Memanjakan
dan melindungi anak secara berlebihan.
4. Penolakan.
5. Hubungan
saudara
Suasana hubungan saudara yang penuh persahabatan,
kooperatif, saling menghormati, penuh kasih sayang, mempunyai kemungkinan yang
lebih besar untuk tercapainya penyesuaian yang lebih baik, sebaliknya suasana
permusuhan, perselisihan, iri hati, kebencian, dan sebagainya dapat menimbulkan
kesulitan dan kegagalan penyesuaian diri.
3. Masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat dimana individu
berada merupakan kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penguasaan diri.
Kondisi studi menunjukan bahwa banyak gejala tingkah laku salah suai bersumber
dari keadaan masyarakat. Pergaulan yang salah dikalangan remaja dapat
mempengaruhi pola-pola penyesuaian dirinya.
4. Sekolah
Sekolah mempunyai peranan sebagai media untuk
mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral para siswa. Suasana
disekolah baik sosial maupun psikologis menentukan proses dan pola penyesuaian
diri. Disamping itu, hasil pendidikan yang diterima anak disekolah eken
merupakan bekal bagi proses penyesuaian diri di masyarakat.
5. Kultur
dan Agama sebagai Penentu Penyesuaian Diri
Proses penyesuaian diri anak mulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh
faktor-faktor kultur dan agama. Lingkungan kultur dimana individu berada dan
berinteraksi akan menetukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya tata cara
kehidupan disekolah, dimesjid, gereja, dan semacamnya akan mempengaruhi
bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Agama memberikan suasana psikologis tentu dalam
mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainya. Agama juga memberikan
suasana damai dan tenang bagi anak. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan
dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan
kesetabilanhidup umat manusia.
6. Permasalahan-permasalahan
Penyesuaian Diri Remaja
Di antara persoalan terpentingnya yang dihadapi
remaja dalam kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian diri yang
sehat adalah hubungan remaja dengan orang dewasa terutama orang tua. Tingkat
penyesuaian diri dan pertumbuhan remaja sangat tergantung pada sikap orang tua
dan suasana psikologis dan sosial dalam keluarga. Contoh : Sikap orang tua yang
menolak. Penolakan orangtua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam.
Pertama, penolakan mungkin merupakan penolakan tetap sejak awal, dimana orang
tua merasa tidak senang kepada anaknya, karena berbagai sebab, mereka tidak
menghadaki kehadirinya.
Boldwyn dalam Dayajat (1983) mengilustrasikan
seorang bapak yang menolak anaknya berusaha menundukan anaknya dengan
kaidah-kaidah kekerasan, karena itu ia mengambil ukuran kekerasan dan mengambil
ukuran kekerasan, kekejaman tanpa alasan nyata. Jenis kedua dari penolakan
adalah dalam bentuk berpura-pura tidak tahu keinginan anak. Contohnya orang tua
memberikan tugas kepada anaknya berbarengan dengan rencana anaknya untuk pergi
nonton bersama dengan sejawatnya.
Hasil dari kedua macam penolakan tersebut ialah
remaja tidak dapat menyesuaikan diri, cenderung menghabiskan waktunya diluar
rumah. Terutama pada gadis-gadis mungkin akan terjadi perkawinan yang tidak
masuk akal dengan pemikiran bahwa rumah di luar tangganya lebih baik dari pada
rumahnya sendiri. Disamping itu, sikap orang tua yang memberikan perlindungan
yang berlebihan akibatnya juga tidak baik.
Sikap orang tua yang otoriter, yaitu yang
memaksakan kekuasaan dan otoritas kepada remaja juga akan menghambat prosedur
penyesuaian diri remaja. Biasanya remaja berusaha untuk menentang kekuasaan
ortu dan pada gilirannya ia akan cenderung otoriter terhadap teman-temanya dan
cenderung menentang otoritas yang ada baik di sekolah maupun di masyarakat.
Permasalahan-permasalahan penyesuaian diri yang
dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti
keretakan keluarga. Banyak penelitian membuktikan bahwa remaja yang hidup
didalam rumah tangga yang retak, mengalami masalah emosi. Tampak padanya ada
kecendrungan yang besar untuk marah, suka menyindir, disamping kurang kepekaan
terhadap penerimaan sosial dan kurang mampu menahan diri serta lebih gelisah
dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam rumah tangga yang wajar.
Perbedaan antara perlakuan laki-laki dan anak
perempuan akan mempengaruhi hubungan antar mereka, sehingga memungkinkan
timbulnya rasa iri hati dalam jiwa anak pertemuan terhadap saudaranya yang
laki-laki. Permasalahan-permasalahan penyesuaian akan muncul bagi remaja yang
sering pindah. Ia terlaksa pindah dari sekolah kesekolah yang lain dan ia
mengalami banyak kesukaran akademis, bahkan mungkin ai akan sangat tertinggal
dalam pelajaran. Karena guru berbeda-beda dalam cara mengajarnya. Demikian pula
mungkin buku-buku pokok yang dipakainya tidak sama.
Tabel 1 Perbedaan Profil
Perkembangan Intelektual antara Siswa SLTP dan Siswa SLTA
No
|
Siswa SLTP (Remaja Awal)
|
Siswa SLTA (Remaja Akhir)
|
1.
2.
3.
|
Proses berfikirnya sudah mampu
mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (asosiasi, diferensiasi,
komparasi, dan kausalitas) dalam ide-ide, diferensiasi, komparasi, dan
kausalitas) dalam ide-ide atau pemikiran abstrak (meskipun relatif terbatas) Kecakapan dasar umum (general intelegence) menjalani laju perkembangan yang terpesat terutama bagi yang bersekolah Kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitude) mulai dari menunjukan kecenderungan-kecenderungan lebih jelas. Kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitude) mulai dari menunjukan kecenderungan-kecenderungan lebih jelas |
Sudah mampu mengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal disertai kemampuannya membuat generalisasi yang
lebih konklusif dan kompherensif Tercapainya titik puncak (kedewasaan intelektual umm, yang mungkin ada pertambahan yang sangat terbatas bagi yang terus bersekolah Kecenderungan bakat tertentu mencapai titik puncak dan kemantapannya |
7. Perkembangan
Pemikiran Politik
Perkembangan pemikiran politik remaja hampir sama
dengan perkembangan moral, kaena memang keduanya berkaitan erat. Remaja telah
mempunyai pemikiran-pemikiran politik yang lebih kompleks dari anak-anak
sekolah dasar. Mereka telah memikirkan ide-ide dan pandangan politiknya yang
lebih abstrak, dan telah melihta banyak hubungan antar hal-hal ersebut. Mereka
dapat melihat pembentukan hukum dan peraturan-peraturan legal secara
demokratis, dan melihat hal-hal tersebut dapat dterapkan pada setiap orang
dimasyarakat, dan bukan pada kelompok-kelompok khusus.
Pemikiran politik ini jelas mengggambarkan
unsur-unsur kemampuan berfikir formal operasional dari piaget dan pengembangan
lebih tinggi dari bentuk pemikiran moral. Remaja juga masih menunjukkan adanya
kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam pemikiran politiknya tidak didasarkan
atas prinsip ”seluruhnya atau tidak sama sekali”, sebagai ciri kemampuan
pemikiran moral tahap tinggi, tetapi lebih banyak didasari oleh
pengetahuan-pengetahuan politik yang bersifat khusus. Meskipun demikian
pemikiran mereka sudah lebih abstrak dan kurang bersifat individual
dibandingkan dengan usia anak sekolah dasar.
8. Pemikiran
Sosial dan Moralitas
Keterampilan berpikir baru ayng dimiliki remaja
adalah pemikiran sosial. Pemikiran sosial ini berkenaan dengan pengetahuan dan
keyakinan mereka tentang masalah-masalah hubungan pribadi sosial. Remaja awal
telah mempunyai pemikiran-pemikiran logis ini mereka sering kali menghadapi
keadaan ini berkembang pada remaja sikap egosentrisme, yang berupa
pemikiran-pemikiran subjektif logis dirinya tentang masalah-masalah sosial yang
dihadapi dalam masyarakat atau kehidupan pada umumnya.
Egosentrisme remaja sering kali muncul atau
diperlihatkan dalam hubungan dengan orang lain tentang dirinya. Remaja sering
berpenampilan atau berperilaku mengikuti bayangan atau sosok gangnya. Mereka
sering membuat trik-trik atau cara-cara untuk menunjukkan kehebatan,
kepopuleran atau kelebihan dirinya pada sesama remaja. Para
remaja seringkali membuat atau memiliki cerita atau dongeng pribadi yang
menggambarkan kehebatan dirinya. Cerita-cerita yang mereka baca atau dengar
diterapkan atau dijadikan cerita dirinya
Secara berangsur-angsur remaja mengurangi sifat
ego sentrismenya dalam hubungan pribadinya berkembang etika pribadi mereka,
berkenaan dengan pengetahuan dan penghayatan tentang apa yang baik dan yang
jahat. Ada dua
aspek yang menjadi perhatian utama para remaja, yaitu nNilai-nilai keadilan dan
kesejahtaraan. Pada wanita dan pria walaupun tidak terlalu ekstrim ada sedikit
perbedaan mengenai nilai-nilai tersebut. Kecendrungan pria lebih peduli
terhadap nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sedangkan wanita terhadap
nilai-nilai kesejahteraan, baik dalam lingkup keluarga, hubungan sebaya maupun
masyarakat.
Perkembangan nilai-nilai keadilan dan kejujuran
pada remaja kurang oportunistik dibandingkan masa sebelumnya, secara berangsur
telah berkurang penilaian yang didasarkan atas ganjaran dan hukuman langsung
atas dasar pengalaman dirinya walaupun masih dalam tahap konvensional pada masa
remaja rasa kepedulian terhadap kepentingan dan kesejahteraan orang lain cukup
besar, tetapi kepedulian ini masih dipengaruhi oleh sifat egosenrisme. Mereka
bisa belum bisa membedakan kebahagiaan atau kesenangan yang dasar hakiki yang
dasar (hakiki) yang sesaat, memperhatikan kepentingan orang secara umum atau
orang-orang yang dekat dengan dia.
Tabel 2 Perbedaan Profil
Perkembangan Pemikiran Sosial dan Moralitas antara Siswa SLTP dengan Siswa SLTA
No
|
Siswa SLTP (Remaja Awal)
|
Siswa SLTA (Remaja Akhir)
|
1.
2.
3.
4.
|
Diawali dengan kecenderungan
ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak, tetapi
bersifat temporer Adanya ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat komformitas yang tinggi Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh oang tua dengan ebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya Dengan sikapnya dan cara berpikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau sistem nilai etis dengan kenyataan dalam perilaku sehari-hari oleh para pendukungnya (orang dewasa) |
Bergaul dengan julah teman
yang lebih terbatas dan selektif serta bertahan lebih lama Ketergantungan kepada kelompok sebaya berangsur fleksibel, kecuali dengan teman dekat pilihannya yang banyak memiliki kesamaan minat Mulai dapat memelihara jarak dan batas-batas kebebasan mana yang harus dirundingkan dengan orang tuanya Sudah dapat memisahkan antara siswa nilai-nilai dengan kaidah-kaidah normatif yang universal dari parda pendukungnya yang mungkin dapat berbuat keliru atau kesalahan |
9. Perkembangan
Agama dan Keyakinan
Perkembangan kemampuan berpikir remaja
mempengaruhi perkembangan pemikiran dan keyakinan tentang agama. Kalau pada
tahap usia sekolah dasar pemikrian agama bersifat konkret dan berkenaan dengan
sekitar kehidupannya, maka pada masa remaja sudah berkembang lebih jauh,
didasari pemikrian-pemikiran rasional, menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak
dan meliputi hal-hal yang lebih luas.
Remaja yang mendapatkan pendidikan agama yang
intensif, bukan saja telah memiliki kebiasaan melaksanakan kegiatan peribadatan
dan ritual agama, tetapi juga tela mendapatkan kepercayaan-kepercayaan khusus
yang lebih mendalam yang membentuk keyakinannya dan menjadi pegangan dalam
keresponss terhadap masalah-masalah dalam kehidupannya. Keyakinan yang lebih
luas dan mendalam ini bukan hanya diyakini atas dasar pemikiran tetapi juga
atas keimanan. Pada masa remaja awal, gambaran Tuhan masih diwarnai oleh
gambaran tentang ciri-ciri manusia, tetapi pada masa remaja akhir, gambaran ini
telah berubah kearaah gambaran sifat-sifat tuhan yang sesungguhnya.
Tabel 3 Perbedaan Profil
Perkembangan Agama dan Keyakinan antara Siswa SLTP dengan Siswa SLTA
No
|
Siswa SLTP (Remaja Awal)
|
Siswa SLTA (Remaja Akhir)
|
1.
2.
3.
|
Menegani eksistensi
(keberadaan) sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipertanyakan secara
kritis dan skeptis Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan mungkin didasarkan atas pertimbangan adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya. Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidupnya |
Eksistensi dan sifat kemurahan
serta keadilan Tuhan mulai dipahamkan dan dihayati menurut sistem. Kepercayaan atau agama yang dianutnya penghayatan dan pelaksanaan kehidupan keagamaan sehari-hari mulai dilakukan atas dasar kesadaran dan pertimbangan hati nuraninya sendiri yang tulus ikhlas. Mulai menemukan pegangan hidup yang definitif. |
Menurut Bronfenbrenner dalam (Papalia dan Olds,
1992:9) terdapat empat tingkatan pengaruh lingkungan yang sangat global, yaitu:
1. Pengaruh
lingkungan sistem mikro, yaitu lingkungan kehidupan sehari-hariu seperti
lingkungan sekolah, lingkungan rumah, dan lingkungan guru-guru, lingkungan
teman sebaya, dan sebagainya. Sikap guru dalam mengajar akan berpengaruh
terhadap perilaku siswa di sekolah. Sering dijumapi siswa yang membenci mata
pelajaran fisika, kimia, dan sebagainya, disebabkan ia memperoleh pengalaman
kurang menyenangkan dari guru pengajar mata pelajaran yang bersangkutan,
2. Pengaruh
lingkungan sistem meso, yaitu keterkaitan antarvariasi tingkatan sistem yang
melibatkan individu didalamnya. Perilaku siswa sekolah menengah akan
dipengaruhi oleh keterkaitan antara lingkungan rumah dengan lingkungan sekolah,
pengaruh keterkaitan antara lingkungan dengan lingkungan masyarakat. Meskipun
atuan tata tertib di sekolah dilaksanakan dengan ketat, tetapi tidak sedikit
siswa yang menyalahkan obat terlarang kaena terpengaruh oleh kelompok yang
siswa yang bersangkutan di masyarakat,
3. Pengaruh
lingkungan sistem EXO adalah pengaruh istitusi lingkungan yang lebih besar,
seperti pengaruh sekolah, pengaruh media massa,
bahkan pengaruh lingkungan pemerintah. Seperti perilaku seks bebas di kalangan
pelajar telah melanda kota-kota pinggiran bahkan kedesa biang keladi yang
ditenggarai banyak meracuni perilaku remaja media massa yang terlalu vulgar,
4. Pengaruh
lingkungan yang paling luas adalah pengaruh sistem makro ada keterkaitan erat
pengaruh dari kebudayaan, pengaruh agama, pendidikan politik, dan pengaruh
keadaan sosial ekonomi terhadap perkembangan individu.
10. Penutup
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha manusia
untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Proses
penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong
process) dan manusia terus-menerus berupaya menemukan dan mengatasi tekanan
dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat. Respons penyesuain baik
atau buruk, secar sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk
mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi
keseimbangan yang lebih wajar.
Karakteristik penyesuaian diri terbagi atas 2
macam, yaitu karakteristik penyesuaian diri secara positif dan karakteristik
penyesuaian diri yang salah. Dimana pada penyesuaian diri positif yaitu
individu melakukan hal-hal yang dapat membawa dampak baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan penyesuaian diri yang salah
adalah individu melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian
diri meliputi kondisi-kondisi fisik (keturunan, konstitusi fisik, susunan
saraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan, penyakit, dan lain-lain).
Perkembangan dan kematangan (khususnya kematangan intelektual sosial, moral, dan
emosional) penentu psikologis (pengalaman, belajar, pengkondisian, penentu diri
/ self-determination, frustasi dan konflik), kondisi lingkungan
(keluarga dan sekolah) dan penentu kultural (agama). Pemahaman tentang
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri dan bagaimana fungsinya
dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian, kaena
penyesuaian tumbuh dari hubungan-hubungan antara faktor-faktor tersebut dan
tuntutan individu.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi
remaja antara lain memilih sekolah, yang mana penyesuaian diri yang mungkin
timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang
baik. Bagi siswa yang baru masuk sekolah lanjutan mungkin mengalami kesulitan
dan membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan
keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan seperti
lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa
remaja.
Sekolah selain mengemban fungsi pengjaran juga
fungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini
peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga yaitu sebagai
rujukan tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena
itulah setiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas yaitu guru-guru yang akan
membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya
dan guru-guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai
masalah pribadi dan masalah penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap tuntutan sekolah.
Penyesuaian diri remaja hendaknya selalu
dipertahankan eksistensinya demi memperoleh kesejahteraan demi memperoleh
kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yanbg
memuaskan denga tuntutan sosial, dan menyesuaikan sesuatu dengan tuntutan
sosial, dan menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip, yang mana
penyesuaian diri merupakan penguasaan yaitu memiliki kemampuan untuk membuat
rencana dan mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bsia
mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien
serta memiliki penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional
merupakan secara positif memiliki respons emosional yang tepat pada setiap
situasi.
Penyesuaian diri remaja sangat ditentukan oleh
peran serta orang tua dalam membimbing dan mengarahkan hal yang lebih baik,
untuk itu perlu kesadaran orang tua dalam membimbing anak serta harus dapat
menjaga anak dari kecaman lingkungan yang dapat mempengaruhi anak, serta juga
peran masyarakat yang sangat menunjang kelancaran atau terciptanya masyarakat
yang aman, damai, dan sejahtera jauh dari lingkungan yang memiliki suatu hal
yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Mulyani, S. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Poerwati, E., dan Nurwidodo. 2000. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Hartono, A., dan Sunanro.
1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta.
IMAM GUNAWAN
RELEFANSI FILSAFAT
M. Sutarno, S.Si, M.Pd
PENDAHULUAN
Dari waktu ke waktu, setiap guru dan siswa bertanya pada diri mereka pertanyaan yang sangat filosofis. Guru berfikir mengenai “mengapa saya mengajar? Mengapa saya mengajar sejarah? Apa yang dimaksud dengan mengajar?” dan murid bertanya-tanya, “Mengapa saya belajar aljabar? Untuk apa saya pergi ke sekolah?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang filosofis dan menjadi pertanyaan yang umum ditanyakan oleh manusia, yaitu tentang pengetahuan, nilai, dan kehidupan. Untuk mencapai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhan suatu pemahaman tentang makna filsafat. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata phylos dan sophia. Philos artinya cinta yang sangat mendalam dan sophia artinya kearifan atau kebajikan. Jadi arti filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearfifan atau kebajukan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Dalam pengertian lain filsafat diartikan sebag ai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Filsafat dapat dipelajari secara akademis, diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya (radia) mengenai segala sesuatu yang ada (wujud). Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta secara sistematis dan inklusif dimana manusia berada di dalamnya. Olehkarena itu, filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tingi dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya. Harold Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai saina yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai science of science, dimana tugas utamanya memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup. Pada bagian lain, Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yaitu : (1) filsafat adalah suatu sikap tentang hiup dan alam semesta, (2) filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif, dan penelitian penalaran, (3) filsafat adalah suatu perangkat maslah-masalah, (4) filsafat adalah perangkat teori dari sistem berfikir. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun tersirat dalamkehidupan.
Dari waktu ke waktu, setiap guru dan siswa bertanya pada diri mereka pertanyaan yang sangat filosofis. Guru berfikir mengenai “mengapa saya mengajar? Mengapa saya mengajar sejarah? Apa yang dimaksud dengan mengajar?” dan murid bertanya-tanya, “Mengapa saya belajar aljabar? Untuk apa saya pergi ke sekolah?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang filosofis dan menjadi pertanyaan yang umum ditanyakan oleh manusia, yaitu tentang pengetahuan, nilai, dan kehidupan. Untuk mencapai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhan suatu pemahaman tentang makna filsafat. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata phylos dan sophia. Philos artinya cinta yang sangat mendalam dan sophia artinya kearifan atau kebajikan. Jadi arti filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearfifan atau kebajukan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Dalam pengertian lain filsafat diartikan sebag ai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Filsafat dapat dipelajari secara akademis, diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya (radia) mengenai segala sesuatu yang ada (wujud). Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta secara sistematis dan inklusif dimana manusia berada di dalamnya. Olehkarena itu, filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tingi dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya. Harold Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai saina yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai science of science, dimana tugas utamanya memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup. Pada bagian lain, Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yaitu : (1) filsafat adalah suatu sikap tentang hiup dan alam semesta, (2) filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif, dan penelitian penalaran, (3) filsafat adalah suatu perangkat maslah-masalah, (4) filsafat adalah perangkat teori dari sistem berfikir. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun tersirat dalamkehidupan.
PEMBAHASAN
- Bentuk-Bentuk Filsafat
Filsafat dapat dipandang sebagai aktivitas dalam tiga bentuk
atau gaya,
yaitu spekulatif, preskriptif, dan analitis.
- Filsafat spekulatif (bersifat untung-untungan
Filsafat spekulatif adalah suatu cara berfikir sistematis mengenai segala hal
yang ada. Mengapa para filsuf melakukan ini? Mengapa mereka tidak seperti
ilmuwan saja yang mempelajariaspek tertentu dalam kehidupan? Jawabannya adalah
bahwa pikiran manusia berharap melihat suatu hal secara keseluruhan. Berharap
untuk mengerti bagaimana semua hal yang berbeda yang ditemukan secara bersamaan
akan menghasilkan sesuatu yang sangat berarti secara keseluruhan. Dan kita pun
terus mengikuti hal-hal tersebut. Ketika kita membaca sebuah buku, melihat
lukisan, atau mempelajari sebuah tugas, kita sadar bahwa tidak hanya detail
tertentu saja yang diperhatikan tetapi harus memperhatikan juga pola-pola yang
memberikan perbedaan pada detail-detail tersebut.
Filsafat spekulatif adalah suatu pencarian
untuk aturan dan suatu hal yang menyeluruh, yang diterapkan bukan hanya pada
hal tertentu atau pengalaman tertentu saja tetapi untuk seluruh ilmu
pengetahuan dan pengalaman. Singkatnya, filsafat spekulatif adalah suatu usaha
untu menemukan hubungan dari keseluruhan aspek dari pikiran dan
pengalaman. Filsafat Spekulatif merenungkan secara rasional spekulatif
seluruh persoalan manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada pada jagat
raya ini. Filsafat berusaha menjawab seluruh pertanyaan yang berkaitan
dengan manusia, eksistensinya, fitrahnya di alam semesta ini, dan hubungannya
dengan kekuatan-kekuatan supernatural. Filsafat spekulatif memiliki kekuatan
intelektal yang sangat tinggi, dengan penalaran intelektualnya itu manusia
berusaha membangaun suatu pemikiran tentang manusia dan masyarakat. Contoh dari
paradigma filsafat ini adalah filsafat yunani kuno, filsafat Socrates,
Plato dan ilsafat Aristoteles.
- Filsafat Preskriptif (prescriptive = bersifat menentukan ketentuan)
Filsafat preskriptif menyusun standar untuk memeriksa nilai, menilai hubungan,
dan menghargai seni. Filsafat preskriptif menilai apa yang kita maksud dengan
baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek. Filsafat preksriptif bertanya
apakah hubungan bentuk-bentuk kualitas ini berkaitan satu sama lain atau hanya
merupakan proyeksi dari pikiran kita. Bagi psikolog, hubungan manusia secara
moral, baik atau buruk, akan membentuk sikap-sikap yang dapat dipelajari. Tapi
menurut pendidik dan filsuf preskriptif beberapa bentuk sikap ada yang berharga
dan ada yang tidak. Filsuf preskriptif mencari untuk menemukan dan mengajukan
prinsip-prinsip untuk memutuskan suatu kegiatan dan nilai kualitas apa yang
bermanfaat dan mengapa hal tersebut harus dilakukan.
- Filsafat Analiti
Filsafat analitis berfokus pada kata dan artinya. Filsuf analitis memeriksa
notasi-notasi seperti “sebab”, “pikiran”, “kebebasan akademik”, dan “kesamaan
kesempatan”, dalam rangka untuk menilai pengertian yang berbeda dalam konteks
berbeda. Filsuf analitis manunjukkan bagaimana ketidakkonsistenan akan muncul
ketika pengertian dalam suatu konteks diaplikasikan pada konteks lain. Filsuf
analitis cenderung skeptic, berhati-hati, dan menolak untuk membangun suatu
system berfikir.
Sekarang ini pendekatan analitis mendominasi filsafat Amerika dan Inggris. Di Benua Eropa berlaku tradisi spekulatif. Tetapi apapun filsafat yang banyak digunakan pada waktu kapanpun, kebanyakan filsuf setuju bahwa semua pendekatan berperan pada perkembangan filsafat. Spekulasi tanpa analisis akan membuat suatu hal menjadi tidak relevan. Analisis tanpa spekulasi juga akan menurun pada rincian yang tidak penting dan menjadi hampa. Pada kasus manapun, hanya terdapat beberapa filsuf yang semata-mata spekulatif, preskriptif, dan analitis. Spekulasi, perskripsi, dan analisis diperlukan untuk semua filsuf yang telah matang.
Sekarang ini pendekatan analitis mendominasi filsafat Amerika dan Inggris. Di Benua Eropa berlaku tradisi spekulatif. Tetapi apapun filsafat yang banyak digunakan pada waktu kapanpun, kebanyakan filsuf setuju bahwa semua pendekatan berperan pada perkembangan filsafat. Spekulasi tanpa analisis akan membuat suatu hal menjadi tidak relevan. Analisis tanpa spekulasi juga akan menurun pada rincian yang tidak penting dan menjadi hampa. Pada kasus manapun, hanya terdapat beberapa filsuf yang semata-mata spekulatif, preskriptif, dan analitis. Spekulasi, perskripsi, dan analisis diperlukan untuk semua filsuf yang telah matang.
- Filsafat dan Ilmu pengetahuan
Banyak informasi penting
dikumpulkan melalui berbagai ilmu pengetahuan dan mendapat perlakuan dari
filsafat, kita mengetahui bahwa psikologi dapat memberi gambaran kepada kita
mengenai manusia, sosiologi, biologi, dan lain-lain. Apa yang kita dapat
setelah semua ilmu pengetahuan yang telah diteliti bukan merupakan gambaran
campuran dari seorang manusia, tapi merupakan gambar-gambar yang berbeda.
Gambar tersebut berarti tidak memuaskan karena menjelaskan aspek-aspek yang berbeda
dari seorang manusia daripada manusia secara keseluruhan. Bisakah kita
menyatukan gambar-gambar terpisah itu menjadi gambar seorang manusia yang
lengkap? Iya, tetapi tidak menggunakan metode ilmiah saja. Hal terebut juga
memerlukan filsafat untuk menyatukan penemuan dari ilmu pengetahuan dan
menguhubungkan konsep-konsep dasar yang ada.
Para filsuf menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan muncul sebelum dan setelah para ilmuwan menyelesaikan pekerjaannya. Isyarat awal para ilmuwan tradisional, contohnya, bahwa semua kejadian disebabkan oleh kejadian lain. Oleh sebab itu, bagi ilmu pengetahuan tidak ada kejadian yang tidak ada penyebabnya. Tetapi bagaimana kita bisa yakin? Apakah penyebab dan akibat ada di dunia dengan sendirinya atau apakah dihadirkan oleh manusia? Perntanyaan ini tidak bisa dijawab oleh logika ilmu pengetahuan, karena penyebab itu tidak bisa ditemukan, yang ada hanyalah asumsi ilmu pengetahuan. Kecuali jika ilmuwan berasumsi bahwa kenyataan adalah kausal di alam, dia tidak akan bisa memulai untuk menyelidikinya. Lalu, ilmu pengetahuan berhubungan dengan hal-hal yang terlihat bagi indera dan peralatan kita. Tetapi apakah hal-hal tersebut memang benar-benar seperti yang terlihat oleh kita? Para ilmuwan tidak bisa menjawabnya, karena hal-hal tersebut bisa saja bersifat sebaliknya dari yang kita lihat. Filsafat, adalah alami dan penting bagi manusia. Kita selamanya selalu mencari suatu acuan kerja yang komprehensif dimana beberapa penemuan akan memberikan perbedaan yang sangat besar. Tidak hanya bahwa filsafat itu merupakan cabang dari pengetahuan yang disertai dengan seni, ilmu pengetahuan (sains) dan sejarah, tetapi juga sebenarnya meliputi disiplin imu secara teoritis dan menjelaskan hubungan hal-hal tersebut. Sekali lagi, filsafat berusaha untuk membuat sebuah hubungan secara keseluruhan dari semua bidang pengalaman.
Para filsuf menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan muncul sebelum dan setelah para ilmuwan menyelesaikan pekerjaannya. Isyarat awal para ilmuwan tradisional, contohnya, bahwa semua kejadian disebabkan oleh kejadian lain. Oleh sebab itu, bagi ilmu pengetahuan tidak ada kejadian yang tidak ada penyebabnya. Tetapi bagaimana kita bisa yakin? Apakah penyebab dan akibat ada di dunia dengan sendirinya atau apakah dihadirkan oleh manusia? Perntanyaan ini tidak bisa dijawab oleh logika ilmu pengetahuan, karena penyebab itu tidak bisa ditemukan, yang ada hanyalah asumsi ilmu pengetahuan. Kecuali jika ilmuwan berasumsi bahwa kenyataan adalah kausal di alam, dia tidak akan bisa memulai untuk menyelidikinya. Lalu, ilmu pengetahuan berhubungan dengan hal-hal yang terlihat bagi indera dan peralatan kita. Tetapi apakah hal-hal tersebut memang benar-benar seperti yang terlihat oleh kita? Para ilmuwan tidak bisa menjawabnya, karena hal-hal tersebut bisa saja bersifat sebaliknya dari yang kita lihat. Filsafat, adalah alami dan penting bagi manusia. Kita selamanya selalu mencari suatu acuan kerja yang komprehensif dimana beberapa penemuan akan memberikan perbedaan yang sangat besar. Tidak hanya bahwa filsafat itu merupakan cabang dari pengetahuan yang disertai dengan seni, ilmu pengetahuan (sains) dan sejarah, tetapi juga sebenarnya meliputi disiplin imu secara teoritis dan menjelaskan hubungan hal-hal tersebut. Sekali lagi, filsafat berusaha untuk membuat sebuah hubungan secara keseluruhan dari semua bidang pengalaman.
- Filsafat Pendidikan
Selain memiliki kepentingan sendiri, filsafat juga
memperhatikan asumsi-asumsi dasar dari bidang ilmu pengetahuan yang lain.
Ketika filsafat beralih perhatian menuju sains, ada filsafat sains, ketika
menguji konsep dasar dari hukum, ada filsafat hukum, dan ketika berhubungan
dengan pendidikan, terdapat filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan menurut
Al-Syaibany (1979) adalah ”pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam bidang pendidikan. Filafat itu mencerminkan satu segi dari
segi pelaksanaan falsafah umum dan menitik beratkan pada pelaksanaan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan
maslah-masalah pendidikan secara praktis”. Seperti halnya filsafat yang
berusaha untuk memahami kenyataan sebagai penjelasan yang menyeluruh dan
sistematis, begitu pula dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk memahami
pendidikan secara keseluruhan, menjelaskannya dengan konsep umum yang akan
menuntun pilihan kita pada tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Melalui
cara yang sama dengan filsafat umum yaitu mengkoordinasi penemuan-penemuan dari
sains yang berbeda, filsafat pendidikan menjelaskan mengenai penemuan ini dan
dihubungkan dengan pendidikan. Teori ilmiah tidak membawa maksud pendidikan
secara langsung, teori ilmiah tidak dapat digunakan dalam praktek pendidikan
tanpa memeriksanya dahulu dengan menggunakan filsafat. Filsafat pendidikan
bergantung pada filsafat yang umum untuk memperluas bahwa permasalahan
pendidikan merupakan salah satu karakter dari filsafat. Kita tidak dapat
mengecam kebijakan pendidikan yang ada atau menyarankan kebijakan yang baru
tanpa menyadari beberapa permasalahan filsafat umum, seperti:
- Sifat dasar kehidupan, dimana pendidikan seharusnya menentukan.
- Sifat dasar manusia itu sendiri, karena manusia adalah yang dididik.
- Sifat dasar masyarakat, karena pendidikan adalah proses sosial.
- Sifat dari kenyataan, dimana semua pengetahuan mencarinya.
Seperti halnya filsafat umum,
filsafat pendidikan merupakan hal yang spekulatif, preskritif, dan analitis.
Filsafat pendidikan spekulatif ketika mencari teori tertentu mengenai
sifat-sifat dasar manusia, masyarakat dan dengan tujuan untuk menjelaskan
mengenai konflik data hasil suatu penelitian pendidikan dan ilmu pengetahuan
sosial. Filsafat pendidikan bersifat preskriptif ketika filsafat pendidikan
menetapkan tujuan dari pendidikan yang harus dipatuhi dan dicapai. Filsafat
pendidikan bersifat analitis ketika mengklarifikasi pernyataan yang bersifat
spekulatif dan preskriptif. Seorang analis, seperti yang kita lihat, memeriksa
rasionalitas dari gagasan-gagasan pendidikan, kekonsistenan dengan gagasan
lain, dan memeriksa hal-hal yang menyimpang. Seorang analis memeriksa logika
konsep-konsep dan kekurangannya menjadi suatu produk yang dapat dijelaskan.
Selain itu, seorang analis juga melakukan klarifikasi pengertian yang
berbeda-beda yang telah digunakan dalam istilah-istilah pendidikan seperti
”kebebasan”, ”penyesuaian”, ”perkembangan”, ”pengalaman”, ”kebutuhan”, dan
”pengetahuan”. Sekarang kita telah siap untuk menerima berbagai cabang dari
filsafat, terutama metafisik, yang sangat berhubungan dengan pendidikan.
Peranan Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan,dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-usaha pendidikannya sengan falsafah umum, falsafahbangsa dan negaranya. Pemahaman akan filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
- Sifat Dasar dari Kenyataan (The Nature of Reality)
Metafisik merupakan bagian
utama dari filsafat spekulatif yang pokok perhatiannya pada sifat dasar
kenyataan. Metafisik mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apakah alam semesta mempunyai desain yang rasional ataukah tercipta begitu saja tanpa ada artinya?
- Apakah kita menyebut pikiran sebagai bentuk nyata dari diri sendiri atau hanya sebagai bentuk dari benda yang bergerak?
- Apakah perilaku semua organisme merupakan sesuatu yang telah ditentukan atau sebagian organism, seperti manusia memiliki ukuran kebebasan dalam berperilaku?
Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, banyak yang percaya bahwa metafisik sudah ketinggalan jaman.
Penemuan-penemuan berdasarkan ilmu pengetahuan dapat dipercaya karena
penemuannya dapat diukur, sebaliknya gagasan-gagasan dari metafisik sepertinya
belum bisa dibuktikan dan belum ada aplikasinya. Bagaimanapun juga, metafisik
dan ilmu pengetahuan merupakan aktivitas yang berbeda, masing-masing memiliki
memiliki kebenaran tersendiri. Dua-duanya mencari pernyataan yang umum, tetapi
metafisik mencari dengan kejadian-kejadian yang tidak dapat diukur, seperti
“kenyataan”, “perubahan”, dan “semangat”. Ini tidak berarti metafisik
mengenyampingkan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memunculkan
masalah-masalah mengenai sifat dasar kenyataan dan ahli metafisik mencari
solusinya. Ilmu pengetahuan juga mengandalkan asumsi-asumsi
metafisik. Banyak orang yang tidak menerima bahwa ilmu pengetahuan mengandalkan
asumsi-asumsi metafisik. Alfred North pada Adventure of Ideas mengatakan
bahwa metafisik tanpa disadari tersirat dalam ilmu pengetahuan. Ahli fisika
nuklir berpendapat bahwa gambaran mengenai ilmu dunia diperoleh melalui
penelitian, hanya perkiraan belaka. Kenyataan metafisik memberi semua hal bahwa
penelitian bertujuan menunjukkan sesuatu menjadi nyata. Banyak dari
ilmuan-ilmuan hebat, khususnya Albert Einstein, merasa terdorong untuk
memformulasikan konsep-konsep metafisik dalam penemuan-penumuan ilmiahnya.
Beberapa filsuf menganggap bahwa metafisik tidak berguna. Meraka membatasi perhatiannya
pada logika dan teori-teori pengetahuan. Sebagian filsuf mempertahankan bahwa
teori-teori logika dan pengetahuan merupakan bagian dari asumsi metafisik.
Bertrand Ru
KEBENARAN PENGETAHUAN
BAB I
LAHIRNYA PENGETAHUAN BENAR
Pada dasarnya manusia selalu ingin mengetahui (Aristoteles dalam tulisannya Metafisika), yaitu mengetahui segala sesuatu yang ada di sekeliling dirinya. Ini merupakan langkah awal manusia untuk memperoleh pengetahuan. Banyak hal terlibat pada saat manusia mengenal sesuatu baik dirinya sendiri maupun hal-hal di luar dirinya. Hal yang terlibat itu minimal adalah alat yang ada pada dirinya sendiri, alat itu adalah indera, rasio, intuisi, dan keyakinan (faith). Di samping itu juga ada hal yang melekat pada diri subjek yaitu kepercayaan (believe). Sesuatu yang mempengaruhi subjek, karena ia datang dari luar yaitu revelasi (wahyu) dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pemegang otoritas (misalnya orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap muridnya, pejabat terhadap bawahan dan rakyatnya dan seterusnya). Selain itu, hal yang melekat pada diri subjek adalah kesadaran. Kesadaran adalah aktivitas kejiwaan yaitu interaksi akal, rasa, dan kehendak yang mengolah semua informasi yang masuk ke dalam diri subjek,
Pengetahuan lahir dari aktivitas subjek yang sadar terhadap semua informasi yang masuk dalam diri subjek atau yang dikenal dan ingin dikenal oleh subjek. Pengetahuan yang lahir di dalam dirinya sudah terdapat kebenaran, dan memang setiap pengetahuan yang di kuak oleh seseorang di dalamnya telah terkandung kebenaran. Hospers menyatakan pangetahuan mesti benar (1967) Jadi isi pengetahuan selalu benar, atau dengan kata lain pengetahuan adalah pengetahuan yang benar. Kesalahan terjadi dan hanya terjadi karena informasi yang diterima melalui otoritas sudah mengandung kesalahan—misalnya, informasi dari orang tua tidak lengkap, dari guru kurang memadai, dari pejabat tidak sesuai dengan fakta, dan lain-lain—atau, indera subjek tidak normal —misalnya buta warna, gangguan pendengaran dan lain-lain—. Atau, penalaran seseorang itu tidak mengikuti norma-norma logika yang benar —tidak mengikuti hukum penyimpulan logika, dan aturan berpikir runtut lainnya.
Di dalam diri subjek di samping alat-alat (tools) yang melekat pada diri subjek, terdapat sikap yang melekat pada subjek, pada saat subjek menghadapi objek pengeta-huan. Terdapat sikap realistik terhadap objek yang di amati, sikap ini bertolak pada paham realisme metafisis yang berpendapat bahwa objek metafisika dan pengetahuan metafisika berpangkal pada objek ada yang real (actual being). Objek demikian haruslah konkret keberadaannya, objek itu di cerap atau dipersep oleh indera. Objek cerapan indera berupa objek konkret secara langsung atau tidak langsung melalui empiri (dapat berupa pengalaman indera dan atau pengalaman bathin). Paham epistemologi yang bertumpu pada sikap terhadap objek sebagaimana dikemukakan adalah paham realisme epistemologis atau paham empirisme—dapat empirisme lunak seperti John Locke atau empirisme keras sebagaimana dikemukakan oleh Ayer.
Sikap subjek yang lain adalah sikap idealistik yang bertolak pada paham idealisme metafisika. Objek yang bertolak pada sikap ini keberadaannya abstrak, sehingga untuk menangkap atau memahami objek itu melalui reason atau rasio. Objek diandaikan hadir dalam kesadaran subjek (bahkan objek telah hadir dalam diri subjek sejak manusia lahir —innate ideas—). Sikap subjek yang bertumpu pada sikap yang demikian melahirkan paham rasionalisme epistemologis. Paham ini dikembangkan oleh Réne Descartes, Spinoza, Bradley dan lainnya.
Sikap subjek yang lainnya adalah sinergi antara indera dan rasio, sehingga objek dipahami sebagai objek yang fenomenal. Objek demikian dapat dicerap oleh indera atau dicerap rasio atau juga dicerap secara bersamaan antara indera dan rasio. Immanuel Kant dan para penganut paham fenomenologi melihat objek sebagaimana dikemu-kakan.
Bertolak dari uraian di atas, terdapat tiga jenis pengetahuan dalam aktifitas manusia yang mengetahui, yaitu pengetahuan indera dan atau pengetahuan empirik, pengetahuan rasional (nalar), dan pengetahuan yang sifatnya fenomenalistik, seimbang antara kegiatan indera dan kegiatan penalaran. Pertama, pengetahuan empirik. Pengetahuan ini telah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menjelaskannya melalui teori the allegories of the cave. Plato membagi jenis pengetahuan menjadi 4 macam yaitu pengetahuan eikasia atau pengetahuan khayali atau pengetahuan ilusi. Pengetahuan ini adalah pengetahuan orang kebanyakan atau biasa disebut juga sebagai pengetahuan keseharian (ordinary knowledge). Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan substantif pengetahuan faktual yang dapat diinderai secara langsung. Aristoteles mengatakannya objek pengetahuan yang demikian adalah objek yang common sensible atau sensus comunis. Pengetahuan ketiga adalah pengetahuan matematis, pengetahuan ini adalah abstraksi dari objek faktual, pengetahuan ini semacam sketsa secara terukur dari objek yang dihadapi. Pengetahuan keempat adalah pangetahuan yang sesungguhnya atau pengetahuan essoterik, yaitu pengetahuan abstrak tentang sesuatu objek. Pengetahuan semacam ini terdapat di dalam dunia ide atau dunia pikiran semata pengetahuan ini disebut noesis atau episteme. Keempat macam pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Plato bertolak pada objek konkret. Pengetahuan yang ada dalam dunia ide hanya ada manakala subjek pernah mempersep objek dalam pengalamannya, artinya pengetahuan ide lahir karena subjek telah memiliki kesan tentang objek, sebagai contoh seseorang (subjek) memiliki pengetahuan tentang kuda, setelah subjek mempersep kuda sebagaimana adanya apakah kuda poni, kuda sumba, kuda cowboy dan lainnya. Teori Plato mempengaruhi persepsi murid-muridnya termasuk Aristoteles. Aristoteles di dalam tulisanya On the Soul dan On Remember berpendapat bahwa objek adalah objek yang dapat dicerap secara langsung (direct comprehension menurut Moore) dan dapat diketahui oleh banyak orang. Itu sebabnya, objek yang demikian oleh Aristoteles disebut sebagai objek yang common sensible atau communis sensus. Pengetahuan yang diperoleh sifatnya explanatory principle harus dibuktikan secara logis melalui logika deduktif dibuktikan dengan mengacu kembali kepada objek pengetahuan yang common sensible.
Pada Jaman Modern lahir teori pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume yang bertolak pada empiri. Di samping Locke lahir pula pengetahuan yang bertumpu pada rasio sebagaimana dikembangkan oleh Réne Descartes. Dan, yang berikutnya adalah Immanuel Kant yang berusaha menyelesaikan dua pendapat yang berbeda, yaitu bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan akal murni dan akal praktis. Pada Jaman Kontemporer kelahiran teori pengeta-huan sangat pesat dan beragam.
BAB II
MAKNA PENGETAHUAN BENAR
Manakala seseorang mempertanyakan dan hendak menegaskan apakah pengetahuan yang ia peroleh memiliki kebenaran ataukah tidak. Menurut para ahli epistemologi dan para filusuf umumnya untuk membuktikan bahwa pengetahuannya bernilai benar, maka orang yang memiliki pengetahuan itu harus melihat dan memeriksa terlebih dahulu bagaimana ia membentuk, memperoleh, atau memiliki pengetahuan itu. Apakah ia memperolehnya dengan melihat atau menginderai atau ia melalui kewibawaan seseorang (melalui otoritas) atau melalui keyakinannya. Atau mungkin juga ia memperolehnya melalui penalaran baik pemikiran deduktif maupun induktif. Kemudia harus diperiksa juga sikap subjek pada saat ia membangun pengetahuan itu. Sikap ini adalah sikap ontologis terhadap objek yang dihadapinya. Apakah ia bertumpu pada paham spiritualisme metafisik ataukan ia bertolak pada paham materialisme metafisik. Lain daripada itu, juga harus memeriksa sarana apa yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan itu. Apakah subjek menggunakan indera, rasio, intuisi, keyakinan atau percaya pada pemegang kewibawaan. Sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, tampak bahwa terjadinya pengetahuan dapat karena aktivitas indera, rasio, intuisi, atau keyakinan, serta dari revelasi atau melalui otoritas seseorang (Hospers,1967). Atau, dapat juga karena subjek sangat terikat pada objek (Empiristik), atau objek yang masuk atau diandaikan ada dalam kesadaran subjek (Rasionalistik), atau menempatkan keseimbangan antara subjek dan objek (Fenomenalisme dan Fenomenologi). Masing-masing cara memperoleh pengetahuan itu memerlukan cara pembuktian kebenaran yang berbeda pula. Bahkan, jika Anda termasuk seorang yang meragukan alat, sumber, dan cara untuk memperoleh pangetahuan sebagaimana Pyrrho dan Sextus Empiricus serta para penganut Shopisme dan Skeptisisme baik yang keras atau yang lunak tak ada kebenaran kecuali keraguan.
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret dan yang abstrak. Perlu diperhatikan bahwa manakala seseorang ingin membuktikan penge-tahuan maka ia perlu memahami apakah realitas pengeta-huan itu. Pengetahuan adalah hasil aktivitas manusia—subjek yang sadar—(karena ada hubungan) dengan objek yang ingin dikenal. Pengetahuan dalam realitas sebagai benda yang actual being dapat berupa pernyataan (statement), atau benda budaya (hasil aktivitas budaya), atau perilaku subjek mengetahui. Maka pada saat subjek hendak membuktikan pengetahuan apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran atau sebaliknya kekhilafan, Subjek harus memahami dulu realitas pengetahuan itu. Kandungan pernyataan, makna budaya, serta perilaku subjek yang mengetahui dalam suatu proposisi. Proposisi adalah kandungan makna yang tersirat dalam pengetahuan (pernyataan, budaya, dan perilaku subjek).
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kualitas pengetahuan (apakah pengetahuan kita itu penge-tahuan keseharian dan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau pengetahuan relijius). Masing-masing pengetahuan itu memiliki cara dan sifat kebenaran sendiri sesuai dengan karakter pengetahuan itu. Atau juga, sifat pengetahuan itu apakah empiristik, rasionalistik, atau fenomenalistik, serta fenomenologik. Serta, hubungan dan nilai pengetahuan itu terfokus pada subjek, objek, atau seimbang antara subjek dan objek. Hal itu dapat dipahami, karena sesungguhnya suatu atau nilai kebenaran pengeta-huan amat tergantung pada atau berkaitan erat dengan kualitas, sifat, dan hubungan itu, sehingga pengetahuan tak dapat begitu saja melepaskan diri.
Di dalam hal kualitas pengetahuan, kita dapat melihat arasy pengetahuan apakah pengetahuan keseharian (ordinary knowledge) dapat berupa pengetahuan biasa atau pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuian filsafati (philosophical knowled-ge), dan pengetahuan relijius (religious knowledge). Masing-masing pengetahuan memiliki sifat kebenaran dan cara membuktikannya secara mandiri.
Pengetahuan non ilmiah memiliki sifat dan cara pembuktiannya sendiri. Sifatnya amat terikat kepada subjek yang mengetahui dan pembuktian atau pengyaannya dengan mengacu secara langsung terhadap objek dan subjek yang mengetahui. Hal ini, sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah, dimana pengetahuan ini baik ilmu sosial (social sciences) maupun ilmu kealaman (natural sciences) akan mengejar objektivitas empirik. Dengan demikian, suatu kebenaran pengetahuan ditunjukkan oleh objek nyata secara empirik, walaupun demikian pasti memiliki perbedaan, karena masing-masing ilmu menggu-nakan metoda yang satu dengan lainnya berbeda. Berbeda dengan pengetahuan filsafati yang memiliki sifat intersub-jektif, karena dalam bidang filsafat sangat sulit untuk menunjukkan hakikat pada ujud yang konkret, sehingga memerlukan kesepakatan di antara para pemikir itu. Sebagai contoh teori Aristoteles memerlukan pengyaan (assertion) dari pemikir-pemikir yang memiliki cara persepsi yang sama atau hampir sama, dan tak mungkin di yakan oleh pengguna metodologi berpikir yang berbeda apalagi bertentangan. Lain halnya, jika membicarakan kebenaran pengetahuan keagamaan. Sikap panatisme dan dogmatisme agama akan mempengaruhi sifat kebenaran pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh subjek tertentu. Satu subjek dengan subjek lain yang berbeda keyakinan keagamaan tak perlu mengadakan pembenaran secara universal.
Manakala melihat pengetahuan dari sifat kebenaran, maka perlu dipilahkan terlebih dahulu apakah sifat pengetahuan itu sifatnya kemestian, keharusan, atau kebetulan. Sifat ini amat tergantung pada sifat metafisis keberadaan objek yang diketahui. Misalnya rakyat dan wilayah merupakan sifat yang harus ada pada eksistensi suatu negara. Apabila kita tahu ada negara X misalnya, maka kita dapat memikirkan bahwa ada rakyat dan wilayah dari negara X tersebut, oleh karena itu, tiada negara tanpa rakyat dan wilayah dimana rakyat itu berada. Tetapi, pemerintahan adalah sifat mesti pada suatu negara, serta bentuk negara apakah republik atau lainnya adalah merupakan sifat kebetulan. Atau contoh lain, semula jumlah tiga sudut suatu segi tiga 180'. Pada saat pendapat bahwa bumi ini datar sebagaimana terjadi pada masa Yunani kuno, maka pendapat itu merupakan sifat mesti. Akan tetapi, setelah pendapat tentang bumi itu berubah maka konsep jumlah tiga sudut pun berubah pula menjadi sifat kebetulan. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan yang sifatnya objektif perlu mendapat pembenaran dari mereka yang memiliki latar belakang ilmu yang sebidang. Ini merupakan konvensi di antara para ahli yang sebidang.
BAB III
TEORI KEBENARAN PENGETAHUAN
Di dalam pemikiran epistemologi terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional atau teori yang paling tua(Hornie,1952). Teori ini bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “..... to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true”. Menurut teori ini pengetahuan benar adalah pengetahuan dengan berdasar pada asas logik bahwa “..... that it is true that p, if and only if p”. Sehingga, menurut teori korespon-densi ini sebagaimana dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true’ pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa pengetahuan terjadi karena adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya keberadaan dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa “..... to see a physical object is to see”.(Marhenke dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala cerapan indera atau data indera memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara “ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief is true, it certainly does correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it certanily true. And similarly when it is false, it certainly does not correspond to any fact; and when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Hornie (1952) menyatakan secara jelas bahwa “.... it affirms that our thoughts or ideas are true or false according as they agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think it to be”. Hal demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being)
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan langsung pada fakta atau objek yang diinderai, atau yang dapat dijabarkan langsung pada dunia empirik atau pengalaman langsung yang dapat diamati indera. Pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indera kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu. Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan penginderaan atau kurang cermatnya menginderai dan atau indera sudah tidak normal.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme. Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme ontologis.
3 Teori Kebenaran Pragmatik
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan bahwa menurut paham ini “..... an idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat dimanfaatkan secara praktis.
4 Teori Kebenaran Semantik
Kebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.
5. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.
6. Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).
7. Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.
8. Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pem-binaan fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Aristoteles.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of Knowledge, disadur oleh Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Kanisius, Yogyakarta.
Habermas ........................................................
Hoernie,R.F.A., 1952, Studies in Philosophy, George Allen&Unwin Ltd, London
Hospers,J., 1967, An Introduction to Philosophical Analisys, Englewood Cliffs
Kattoff, L.O., 1954, Element of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Plato,
The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta.
White, A.R. 1970, Truth; Problem in Philosophy, Doubleday&Co, New York.
LAHIRNYA PENGETAHUAN BENAR
Pada dasarnya manusia selalu ingin mengetahui (Aristoteles dalam tulisannya Metafisika), yaitu mengetahui segala sesuatu yang ada di sekeliling dirinya. Ini merupakan langkah awal manusia untuk memperoleh pengetahuan. Banyak hal terlibat pada saat manusia mengenal sesuatu baik dirinya sendiri maupun hal-hal di luar dirinya. Hal yang terlibat itu minimal adalah alat yang ada pada dirinya sendiri, alat itu adalah indera, rasio, intuisi, dan keyakinan (faith). Di samping itu juga ada hal yang melekat pada diri subjek yaitu kepercayaan (believe). Sesuatu yang mempengaruhi subjek, karena ia datang dari luar yaitu revelasi (wahyu) dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pemegang otoritas (misalnya orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap muridnya, pejabat terhadap bawahan dan rakyatnya dan seterusnya). Selain itu, hal yang melekat pada diri subjek adalah kesadaran. Kesadaran adalah aktivitas kejiwaan yaitu interaksi akal, rasa, dan kehendak yang mengolah semua informasi yang masuk ke dalam diri subjek,
Pengetahuan lahir dari aktivitas subjek yang sadar terhadap semua informasi yang masuk dalam diri subjek atau yang dikenal dan ingin dikenal oleh subjek. Pengetahuan yang lahir di dalam dirinya sudah terdapat kebenaran, dan memang setiap pengetahuan yang di kuak oleh seseorang di dalamnya telah terkandung kebenaran. Hospers menyatakan pangetahuan mesti benar (1967) Jadi isi pengetahuan selalu benar, atau dengan kata lain pengetahuan adalah pengetahuan yang benar. Kesalahan terjadi dan hanya terjadi karena informasi yang diterima melalui otoritas sudah mengandung kesalahan—misalnya, informasi dari orang tua tidak lengkap, dari guru kurang memadai, dari pejabat tidak sesuai dengan fakta, dan lain-lain—atau, indera subjek tidak normal —misalnya buta warna, gangguan pendengaran dan lain-lain—. Atau, penalaran seseorang itu tidak mengikuti norma-norma logika yang benar —tidak mengikuti hukum penyimpulan logika, dan aturan berpikir runtut lainnya.
Di dalam diri subjek di samping alat-alat (tools) yang melekat pada diri subjek, terdapat sikap yang melekat pada subjek, pada saat subjek menghadapi objek pengeta-huan. Terdapat sikap realistik terhadap objek yang di amati, sikap ini bertolak pada paham realisme metafisis yang berpendapat bahwa objek metafisika dan pengetahuan metafisika berpangkal pada objek ada yang real (actual being). Objek demikian haruslah konkret keberadaannya, objek itu di cerap atau dipersep oleh indera. Objek cerapan indera berupa objek konkret secara langsung atau tidak langsung melalui empiri (dapat berupa pengalaman indera dan atau pengalaman bathin). Paham epistemologi yang bertumpu pada sikap terhadap objek sebagaimana dikemukakan adalah paham realisme epistemologis atau paham empirisme—dapat empirisme lunak seperti John Locke atau empirisme keras sebagaimana dikemukakan oleh Ayer.
Sikap subjek yang lain adalah sikap idealistik yang bertolak pada paham idealisme metafisika. Objek yang bertolak pada sikap ini keberadaannya abstrak, sehingga untuk menangkap atau memahami objek itu melalui reason atau rasio. Objek diandaikan hadir dalam kesadaran subjek (bahkan objek telah hadir dalam diri subjek sejak manusia lahir —innate ideas—). Sikap subjek yang bertumpu pada sikap yang demikian melahirkan paham rasionalisme epistemologis. Paham ini dikembangkan oleh Réne Descartes, Spinoza, Bradley dan lainnya.
Sikap subjek yang lainnya adalah sinergi antara indera dan rasio, sehingga objek dipahami sebagai objek yang fenomenal. Objek demikian dapat dicerap oleh indera atau dicerap rasio atau juga dicerap secara bersamaan antara indera dan rasio. Immanuel Kant dan para penganut paham fenomenologi melihat objek sebagaimana dikemu-kakan.
Bertolak dari uraian di atas, terdapat tiga jenis pengetahuan dalam aktifitas manusia yang mengetahui, yaitu pengetahuan indera dan atau pengetahuan empirik, pengetahuan rasional (nalar), dan pengetahuan yang sifatnya fenomenalistik, seimbang antara kegiatan indera dan kegiatan penalaran. Pertama, pengetahuan empirik. Pengetahuan ini telah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menjelaskannya melalui teori the allegories of the cave. Plato membagi jenis pengetahuan menjadi 4 macam yaitu pengetahuan eikasia atau pengetahuan khayali atau pengetahuan ilusi. Pengetahuan ini adalah pengetahuan orang kebanyakan atau biasa disebut juga sebagai pengetahuan keseharian (ordinary knowledge). Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan substantif pengetahuan faktual yang dapat diinderai secara langsung. Aristoteles mengatakannya objek pengetahuan yang demikian adalah objek yang common sensible atau sensus comunis. Pengetahuan ketiga adalah pengetahuan matematis, pengetahuan ini adalah abstraksi dari objek faktual, pengetahuan ini semacam sketsa secara terukur dari objek yang dihadapi. Pengetahuan keempat adalah pangetahuan yang sesungguhnya atau pengetahuan essoterik, yaitu pengetahuan abstrak tentang sesuatu objek. Pengetahuan semacam ini terdapat di dalam dunia ide atau dunia pikiran semata pengetahuan ini disebut noesis atau episteme. Keempat macam pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Plato bertolak pada objek konkret. Pengetahuan yang ada dalam dunia ide hanya ada manakala subjek pernah mempersep objek dalam pengalamannya, artinya pengetahuan ide lahir karena subjek telah memiliki kesan tentang objek, sebagai contoh seseorang (subjek) memiliki pengetahuan tentang kuda, setelah subjek mempersep kuda sebagaimana adanya apakah kuda poni, kuda sumba, kuda cowboy dan lainnya. Teori Plato mempengaruhi persepsi murid-muridnya termasuk Aristoteles. Aristoteles di dalam tulisanya On the Soul dan On Remember berpendapat bahwa objek adalah objek yang dapat dicerap secara langsung (direct comprehension menurut Moore) dan dapat diketahui oleh banyak orang. Itu sebabnya, objek yang demikian oleh Aristoteles disebut sebagai objek yang common sensible atau communis sensus. Pengetahuan yang diperoleh sifatnya explanatory principle harus dibuktikan secara logis melalui logika deduktif dibuktikan dengan mengacu kembali kepada objek pengetahuan yang common sensible.
Pada Jaman Modern lahir teori pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume yang bertolak pada empiri. Di samping Locke lahir pula pengetahuan yang bertumpu pada rasio sebagaimana dikembangkan oleh Réne Descartes. Dan, yang berikutnya adalah Immanuel Kant yang berusaha menyelesaikan dua pendapat yang berbeda, yaitu bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan akal murni dan akal praktis. Pada Jaman Kontemporer kelahiran teori pengeta-huan sangat pesat dan beragam.
BAB II
MAKNA PENGETAHUAN BENAR
Manakala seseorang mempertanyakan dan hendak menegaskan apakah pengetahuan yang ia peroleh memiliki kebenaran ataukah tidak. Menurut para ahli epistemologi dan para filusuf umumnya untuk membuktikan bahwa pengetahuannya bernilai benar, maka orang yang memiliki pengetahuan itu harus melihat dan memeriksa terlebih dahulu bagaimana ia membentuk, memperoleh, atau memiliki pengetahuan itu. Apakah ia memperolehnya dengan melihat atau menginderai atau ia melalui kewibawaan seseorang (melalui otoritas) atau melalui keyakinannya. Atau mungkin juga ia memperolehnya melalui penalaran baik pemikiran deduktif maupun induktif. Kemudia harus diperiksa juga sikap subjek pada saat ia membangun pengetahuan itu. Sikap ini adalah sikap ontologis terhadap objek yang dihadapinya. Apakah ia bertumpu pada paham spiritualisme metafisik ataukan ia bertolak pada paham materialisme metafisik. Lain daripada itu, juga harus memeriksa sarana apa yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan itu. Apakah subjek menggunakan indera, rasio, intuisi, keyakinan atau percaya pada pemegang kewibawaan. Sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, tampak bahwa terjadinya pengetahuan dapat karena aktivitas indera, rasio, intuisi, atau keyakinan, serta dari revelasi atau melalui otoritas seseorang (Hospers,1967). Atau, dapat juga karena subjek sangat terikat pada objek (Empiristik), atau objek yang masuk atau diandaikan ada dalam kesadaran subjek (Rasionalistik), atau menempatkan keseimbangan antara subjek dan objek (Fenomenalisme dan Fenomenologi). Masing-masing cara memperoleh pengetahuan itu memerlukan cara pembuktian kebenaran yang berbeda pula. Bahkan, jika Anda termasuk seorang yang meragukan alat, sumber, dan cara untuk memperoleh pangetahuan sebagaimana Pyrrho dan Sextus Empiricus serta para penganut Shopisme dan Skeptisisme baik yang keras atau yang lunak tak ada kebenaran kecuali keraguan.
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret dan yang abstrak. Perlu diperhatikan bahwa manakala seseorang ingin membuktikan penge-tahuan maka ia perlu memahami apakah realitas pengeta-huan itu. Pengetahuan adalah hasil aktivitas manusia—subjek yang sadar—(karena ada hubungan) dengan objek yang ingin dikenal. Pengetahuan dalam realitas sebagai benda yang actual being dapat berupa pernyataan (statement), atau benda budaya (hasil aktivitas budaya), atau perilaku subjek mengetahui. Maka pada saat subjek hendak membuktikan pengetahuan apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran atau sebaliknya kekhilafan, Subjek harus memahami dulu realitas pengetahuan itu. Kandungan pernyataan, makna budaya, serta perilaku subjek yang mengetahui dalam suatu proposisi. Proposisi adalah kandungan makna yang tersirat dalam pengetahuan (pernyataan, budaya, dan perilaku subjek).
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kualitas pengetahuan (apakah pengetahuan kita itu penge-tahuan keseharian dan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau pengetahuan relijius). Masing-masing pengetahuan itu memiliki cara dan sifat kebenaran sendiri sesuai dengan karakter pengetahuan itu. Atau juga, sifat pengetahuan itu apakah empiristik, rasionalistik, atau fenomenalistik, serta fenomenologik. Serta, hubungan dan nilai pengetahuan itu terfokus pada subjek, objek, atau seimbang antara subjek dan objek. Hal itu dapat dipahami, karena sesungguhnya suatu atau nilai kebenaran pengeta-huan amat tergantung pada atau berkaitan erat dengan kualitas, sifat, dan hubungan itu, sehingga pengetahuan tak dapat begitu saja melepaskan diri.
Di dalam hal kualitas pengetahuan, kita dapat melihat arasy pengetahuan apakah pengetahuan keseharian (ordinary knowledge) dapat berupa pengetahuan biasa atau pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuian filsafati (philosophical knowled-ge), dan pengetahuan relijius (religious knowledge). Masing-masing pengetahuan memiliki sifat kebenaran dan cara membuktikannya secara mandiri.
Pengetahuan non ilmiah memiliki sifat dan cara pembuktiannya sendiri. Sifatnya amat terikat kepada subjek yang mengetahui dan pembuktian atau pengyaannya dengan mengacu secara langsung terhadap objek dan subjek yang mengetahui. Hal ini, sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah, dimana pengetahuan ini baik ilmu sosial (social sciences) maupun ilmu kealaman (natural sciences) akan mengejar objektivitas empirik. Dengan demikian, suatu kebenaran pengetahuan ditunjukkan oleh objek nyata secara empirik, walaupun demikian pasti memiliki perbedaan, karena masing-masing ilmu menggu-nakan metoda yang satu dengan lainnya berbeda. Berbeda dengan pengetahuan filsafati yang memiliki sifat intersub-jektif, karena dalam bidang filsafat sangat sulit untuk menunjukkan hakikat pada ujud yang konkret, sehingga memerlukan kesepakatan di antara para pemikir itu. Sebagai contoh teori Aristoteles memerlukan pengyaan (assertion) dari pemikir-pemikir yang memiliki cara persepsi yang sama atau hampir sama, dan tak mungkin di yakan oleh pengguna metodologi berpikir yang berbeda apalagi bertentangan. Lain halnya, jika membicarakan kebenaran pengetahuan keagamaan. Sikap panatisme dan dogmatisme agama akan mempengaruhi sifat kebenaran pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh subjek tertentu. Satu subjek dengan subjek lain yang berbeda keyakinan keagamaan tak perlu mengadakan pembenaran secara universal.
Manakala melihat pengetahuan dari sifat kebenaran, maka perlu dipilahkan terlebih dahulu apakah sifat pengetahuan itu sifatnya kemestian, keharusan, atau kebetulan. Sifat ini amat tergantung pada sifat metafisis keberadaan objek yang diketahui. Misalnya rakyat dan wilayah merupakan sifat yang harus ada pada eksistensi suatu negara. Apabila kita tahu ada negara X misalnya, maka kita dapat memikirkan bahwa ada rakyat dan wilayah dari negara X tersebut, oleh karena itu, tiada negara tanpa rakyat dan wilayah dimana rakyat itu berada. Tetapi, pemerintahan adalah sifat mesti pada suatu negara, serta bentuk negara apakah republik atau lainnya adalah merupakan sifat kebetulan. Atau contoh lain, semula jumlah tiga sudut suatu segi tiga 180'. Pada saat pendapat bahwa bumi ini datar sebagaimana terjadi pada masa Yunani kuno, maka pendapat itu merupakan sifat mesti. Akan tetapi, setelah pendapat tentang bumi itu berubah maka konsep jumlah tiga sudut pun berubah pula menjadi sifat kebetulan. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan yang sifatnya objektif perlu mendapat pembenaran dari mereka yang memiliki latar belakang ilmu yang sebidang. Ini merupakan konvensi di antara para ahli yang sebidang.
BAB III
TEORI KEBENARAN PENGETAHUAN
Di dalam pemikiran epistemologi terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional atau teori yang paling tua(Hornie,1952). Teori ini bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “..... to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true”. Menurut teori ini pengetahuan benar adalah pengetahuan dengan berdasar pada asas logik bahwa “..... that it is true that p, if and only if p”. Sehingga, menurut teori korespon-densi ini sebagaimana dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true’ pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa pengetahuan terjadi karena adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya keberadaan dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa “..... to see a physical object is to see”.(Marhenke dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala cerapan indera atau data indera memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara “ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief is true, it certainly does correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it certanily true. And similarly when it is false, it certainly does not correspond to any fact; and when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Hornie (1952) menyatakan secara jelas bahwa “.... it affirms that our thoughts or ideas are true or false according as they agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think it to be”. Hal demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being)
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan langsung pada fakta atau objek yang diinderai, atau yang dapat dijabarkan langsung pada dunia empirik atau pengalaman langsung yang dapat diamati indera. Pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indera kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu. Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan penginderaan atau kurang cermatnya menginderai dan atau indera sudah tidak normal.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme. Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme ontologis.
3 Teori Kebenaran Pragmatik
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan bahwa menurut paham ini “..... an idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat dimanfaatkan secara praktis.
4 Teori Kebenaran Semantik
Kebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.
5. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.
6. Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).
7. Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.
8. Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pem-binaan fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Aristoteles.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of Knowledge, disadur oleh Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Kanisius, Yogyakarta.
Habermas ........................................................
Hoernie,R.F.A., 1952, Studies in Philosophy, George Allen&Unwin Ltd, London
Hospers,J., 1967, An Introduction to Philosophical Analisys, Englewood Cliffs
Kattoff, L.O., 1954, Element of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Plato,
The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta.
White, A.R. 1970, Truth; Problem in Philosophy, Doubleday&Co, New York.
pendidikan di indonesia dan hukum
Monday, June 26, 2006
Menuju Masyarakat EdukatifOleh M Badri
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632 – 1704), tokoh empirisme Inggris, meninjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan (Rakhmat, 2004).
Pengalaman sendiri dibentuk melalui pendidikan. Di sini penulis melihat bahwa pengalaman (baca: pendidikan) merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku dan budaya masyarakat di masa depan. Proses pembentukan pendidikan harus melihat realitas yang ada di tengah masyarakat dengan mengedepankan aspek pendidikan agama, sains, dan sosial untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan demokratis. Karena produk pendidikan untuk menghasilkan masyarakat edukatif (secara universal) harus memperhatikan keterampilan hidup (life skill) dan keterampilan sosial (social skill). Kedua hal ini merupakan satu kesatuan untuk menciptakan sebuah perubahan dalam konteks modernisasi berpikir masyarakat yang madani.
Dalam sebuah Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah mengemukakan, pengetahuan lahir saat manusia tumbuh. Dunia modern bahkan bergerak dari proses pengetahuan itu: manusia tak lagi tersihir oleh dunia. Ia menangkap dunia itu, menafsirkannya dan mengubahnya. Hal ini berarti pendidikan merupakan “senjata nuklir” yang dapat mengubah dunia ––mungkin juga menghancurkannya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang secara tidak langsung memanfaatkan pendidikan untuk menguasai pemikiran masyarakat dunia melalui konsep ekonomi, ideologi, dan teknologi. Hal ini sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang yang setakat ini dengan mudah dapat “tersihir” oleh konsep pemikiran yang dihasilkan negara-negara barat.
Realitas Pendidikan Indonesia
Hingga kini masalah pendidikan di Indonesia masih menjadi isu sentral yang selalu dibicarakan semua orang, baik yang bersentuhan langsung dengan urusan pendidikan maupun tidak. Karena ukuran kualitas dan kuantitas dunia pendidikan menjadi cermin kemajuan sebuah peradaban. Kita lihat misalnya negara-negara maju selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas nomor satu dalam pembangunan. Hal ini erat kaitannya dengan budaya riset untuk peningkatan kemajuan teknologi dalam menghadapi persaingan global. Lalu bagaimana dengan negara-negara berkembang? Khususnya Indonesia, hal ini sepertinya masih jauh panggang dari api.
Padahal seperti dilihat pada gambaran Pembangunan Pendidikan yang tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Menghadapi tantangan ini diperlukan konsep pendidikan yang memihak masyarakat, bukan pendidikan berorientasi pada kapitalisme. Masih relatif rendahnya anggaran pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menjadi pemicu utama lambannya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia. Anggapan “orang miskin dilarang sekolah” begitu melekat di tengah masyarakat, karena rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini sangat kontradiktif dengan jargon pemerintah yang katanya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan tersebut, Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita pernah mengemukakan pendapat bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Drs Nurkolis MM dalam artikel “Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang” di homepage Pendidikan Network).
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Pendidikan Riau Masa Depan
Kalau dilihat secara umum pendidikan yang ada di Riau tidak jauh berbeda dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam berbagai seminar dan diskusi seringkali dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan di Riau masih rendah. Dalam seminar dan diskusi yang lain digembar-gemborkan bahwa Riau memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup menjanjikan. Dua kondisi di atas bila dianalogikan sebagai sebuah kutub magnet yang berbeda, seharusnya terjadi hubungan tarik menarik. Namun setakat ini medan magnet tersebut masih relatif lemah. Mengapa?
Idealnya sebuah daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengelola kekayaan alamnya untuk kemakmuran masyarakat. Karena kemajuan suatu daerah lebih banyak ditentukan oleh kualitas SDM sebagai penggerak utama roda pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah ini sudah seharusnya pemerintah setempat melakukan manuver untuk melejitkan kualitas pendidikan agar masyarakat tidak berpikir ortodoks akibat nilai-nilai pengetahuan yang termarjinalkan. Karena salah satu ciri masyarakat dinamis selalu melahirkan inovasi baru dalam melakukan perubahan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.
Dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rektor UIR Profesor Hasan Basri Jumin pernah mengatakan bahwa pengembangan pendidikan di Riau masih sangat lamban. Hal ini disebabkan belum menyatunya gagasan dalam upaya peningkatan pengembangan pendidikan. Seperti halnya Profesor Kinosita di atas, pendidikan dasar sembilan tahun dikatakan Profesor Hasan sebagai pondasi yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pendidikan. Karena ini sangat potensial untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan peningkatan kemampuan hingga perguruan tinggi.
Salah satu wacana yang pernah berkembang untuk mengentaskan permasalahan pendidikan adalah dengan mengimplementasikan konsep pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah. Namun hal ini belum terwujud, karena belum adanya kebijakan politis yang memihak kepada pendidikan. Konsepnya sendiri belum begitu jelas dalam penerapan di lapangan. Kesadaran pemerintah untuk mendongkrak anggaran pendidikan juga belum terlihat mencuat ke permukaan. Sementara keragaman kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masih menjadi kendala. Sebagai contoh tingkat kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya belum tentu sama. Untuk itu perlu adanya persamaan persepsi tentang pentingnya peran pendidikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Dengan ketersediaan SDA yang mencukupi, seharusnya pemerintah mulai meningkatkan anggaran komunikasi strategis untuk memasyarakatkan pendidikan. Berbagai bentuk kampanye dan pendampingan sektor pendidikan yang berkesinambungan merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan pendidikan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah (grassroot). Tujuan pendidikan itu sendiri akan tercapai bila prosesnya komunikatif. Kelompok-kelompok intelektual yang ada di tengah masyarakat perlu dilibatkan dalam komunikasi ini. Bukankah masih banyak sarjana yang belum mendapat lapangan pekerjaan? Tentunya mereka dapat dimanfaatkan oleh pemerintah melalui suatu program yang bertujuan untuk perluasan penyebaran pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian dapat menjembatani kesenjangan tingkat pendidikan masyarakat melalui tranformasi ilmu oleh masyarakat itu sendiri.
Paragidma pembangunan pendidikan yang merata dapat menciptakan masyarakat yang edukatif. Sehingga budaya berpikir kritis, dinamis, humanis dan demokratis menjadi karakter masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Provinsi Riau yang identik dengan kultur budaya masyarakat Melayu memiliki potensi untuk menciptakan kehidupan “masyarakat madani”yang meletakkan pendidikan sebagai pondasi dan tujuan dalam membangun bangsa.***
Hukum Pidana dan Sejarahnya di Indonesia
2008 Juli 28
by anggara
20
12
Rate This
// <!--[CDATA[//
Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4
Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4
Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana input, proses dan output pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa
2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Apa sih Pentingnya Psikologi?
Telah kita
ketahui bersama apa itu arti psikiologi. Psikologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu dari kata psyche yang berarti “jiwa” dan logos yang
berarti “ilmu”. Jadi secara harafiah, psikologi berarti ilmu yang mempelajari
tentang gejala-gejala kejiwaan.
Namun dalam perkembangannya, jiwa merupakan hal yang
abstrak, tidak ada seorangpun yang tahu persis bagaimana bentuknya jiwa, jiwa
sangat sulit dipelajari sehingga pengertian tersebbut berubah menjadi “ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia”.
Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Isra yang artinya:
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang jiwa
atau roh, maka katakanlah bahwa jiwa atau roh itu adalah urusan Tuhan dan kamu
tidak diberi pengetahuan tentang jiwa itu kecuali sedikit saja (Q.S Al-Isra,
17:85).
Ayat tersebut bukan berarti menutup kemungkinan untuk
mengkaji tentang jiwa. Meskipun hanya sedikit, ayat itu mengisyaratkan bahwa
jiwa atau roh adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Kemudian yang menjadi
pertanyaan bagi penulis Apakah jiwa dan roh itu sama? Ternyata berbeda, roh
selalu berhubungan dengan sang Pencipta, roh merupakan sesuatu yang sifatnya
selalu baik. Sedangkan jiwa mempunyai potensi berperilaku baik atau buruk, jiwa
menentukan tindakan yang akan dipilih manusia. Jiwa dapat merasakan kesenangan,
kesedihan, kegelisahan, rasa sakit dan sebagainya, sedangkan roh tidak dapat
merasakannya. Jiwa ada karena roh dan raga manusia bertemu.
Jiwa adalah daya hidup rohaniyah yang bersifat
abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi
(personal behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi
ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan
jasmani, rohaniyah, sosial, dan lingkungan. Proses belajar ialah proses untuk
meningkatkan kepribadian ( personality ) dengan jalan berusaha mendapatkan
pengertian baru, nilai-nilai baru, dan kecakapan baru, sehingga ia dapat
berbuat yang lebih sukses dalam menghadapi kontradiksi- kontradiksi dalam
hidup (Abu Ahmadi, 2009:1).
Bruno, seperti dikutip Syah (1995:8) membagi
pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan.
(1) psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “roh”,ini merupakan definisi
yang paling kuno dan klasik (bercitarasa tinggi dan bersejarah)yang berhubungan
dengan filsafat Plato dan Aristoteles. Mereka menganggap bahwa kesadaran
manusia berhubungan dengan rohnya. (2) psikologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai “kehidupan mental”. (3) psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai
“tingkah laku” organisme.
Wilhelm Wundt : Psikologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari pengalaman- pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti
perasaan panca indra, pikiran, merasa (feeling) dan kehendak.
George A. Miller menyatakan psikologi adalah ilmu yang
berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan
tingkah laku. Chaplin (1972) berpendapat bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan
mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organism dalam
segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar
dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan.
Henry Gleitman mendefinisikan psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka
melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana mahluk tersebut berfikir dan
berperasaan.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam
hubungan dengan lingkungannya. Dengan mempelajari psikologi manusia dapat
menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa seseorang berperilaku tertentu. Manusia
mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku
itu terjadi. Dan pada akhirnya manusia mampu mengendaliikan tingkah lakunya
sesuai dengan yang diharapkan. Tindakan tersebut bisa bersifat preventif
(pencegahan), intervensi, serta rehabilitasi atau perawatan.
Pendekatan tingkah laku dapat dijelaskan
dengan cara yang berbeda – beda, dalam psikologi sedikitnya ada 5 cara
pendekatan, yaitu :* Pendekatan Neurobiological
Tingkah laku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh aktivitas otak dan sistem syaraf. Pendekatan neurobiological berupaya mengaitkan perilaku yang terlihat dengan impuls listrik dan kimia yang terjadi didalam tubuh serta menentukan proses neurobiologi yang mendasari perilaku dan proses mental.
* Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini tingkah laku pada dasarnya adalah respon atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S – R atau suatu kaitan Stimulus – Respon. Ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Pendekatan ini dipelopori oleh J. B Watson kemudian dikembangkan oleh banyak ahli, seperti Skinner, dan melahirkkan banyak sub aliran
* Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu ( Organisme ) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Jika dibuatkan model adalah sebagai berikut S – O – R. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang
* Pendekatan Psikoanalisa
Pendekatan ini dikembangkan oleh Freud. Ia meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar dan sewaktu – waktu akan menuntut untuk dipuaskan
* Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan ini lebih memperhatikan pada pengalaman subjektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya.Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya
Pada tahun 1879 Wilhem Wundt mendirikan laboratorium Psikologi pertama di University of Leipzig, Jerman. Ditandai oleh berdirinya laboratorium ini, maka metode ilmiah untuk lebih mamahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai. dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam teorinya tentang “idea”, Plato melukiskan pertentangan tentang kenyataan rohani yang tidak dapat musnah, dan kehidupan di dunia ini yang dialami secara indrawi. Menurutnya jiwa tidak akan mati, yang akan musnah adalah badan. Jiwa dan badan bersifat etis-religius. Idea ini menuju kea rah kebaikan dan kesempurnaan yang inheren dalam bentuk ideal ini mengilhami benda di dunia fenomenal untuk berubah, bergerak, beraksi mencari tujuan.
Aristoteles dalam De Anima mengemukakan bermacam-macam tingkah laku manusia dan adanya tingkat tingkah laku pada organism-organisme yang beerbeda-beda. Tingkatan tersebut adalah tumbuhan, hewan dan manusia. Secara menyeluruh, Aristoteles memandang dunia dan manusia sebagai ssebuah proses perkembangan yang berlangsunng terus-menerus dan menuju ke final yang baik.
Descartes menyatakan bahwa manusia terdiri atas dua macam zat yang berbeda yaitu res cogitan ( zat yang dapat berfikir ) adalah zat yang bebas, tidak terikat pada hokum alam, bersifat rohaniah dan res extensa ( zat yanyg mempunyai luas) adalah zat mateeri, tidak bebas, terikat dan dikuasai oleh hukkum alam. Jiwa dan badan manusia dihubungkan melalui sebuah kelenjar di dalam otak. Jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau pikirannya yang bebas, sedangkan raganya tunduk pada hokum alamiah dan terikat pada nafsunya.
Descrates, menurutnya psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai gejala pemikiran atau gejala kesadaran manusia, terlepas dari badannya. Jiwa adalah unsure manusia yang menyatakan “aku” dalam diri manusia. Perkataannya Cogito ergo sum, aku berfikir jadi aku ada.
John locke terkenal dengan teori tabularasa, semua pengetahuan, tanggapan dan perasaan jiwa manusia diperoleh karena pengalaman melalui alat indranya. Pada waktu dilahirkan jiwa masih kosong, sehingga segalanya terisi berdasarkan interaksi denngan lingkungan (pengalaman).
Leibniz berpendapat bahwa tingkah laku tubuh manusia diatur oleh hukum-hukum mekanika. Tingkah laku tubuh manusia sama mekanisnya dengan tingkah laku tubuh hewan lainnya, misalnya proses penyerapan makanan di dalam tubuh. Demikian juga tingkah laku mental diatur oleh hukum khusus yang dapat dipelajari melalui tingkah laku sebelumnya.
Aliran Psikologi
Strukturalisme, tokonya Wundt. Struktur adalah system ttransformasi ynag mengandung kaidah sebagai system (lawan dari sifat unsure) dan yang melindungi diri atau memperkaya diri melalui peran transformasinya. Struktur terdiri atas sejumlah substruktur yang terikat oleh struktur yang lebih besar. Struktur harus dilihat sebagai suatu totalitas, meskipun terdiri atas sejumlah unsure.
Wundt menyatakan pengalaman mental yang kompleks sebenarnya adalah struktur yang terdiri atas keadaan mental yang sederhana seperti halnya persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsure-unsur kimiawi. Aliran ini menyelidiki struktur kesadaran dan mengembangkan hukum pembentuknya. Wundt percaya bahwa gejala kejiwaan dapat dibagi-bagi dalam elemen yang lebih kecil. Untuk mempelajari gejala kejiwaan, kita harus mempelajari isi dan struktur kejiwaan. Wundt menggunakan metode instropeksi yaitu orang yanyg menjalani percobaan diminta menceritakan kembali pengalamannya.
Strukturalisme ditentang oleh William James (
Fungsionalisme ). Fungsionalisme adalah suatu tendensi dalam psikologi yang
menyatakan bahwa ppikiran, proses mental, persepsi indrawi dan emosi adalah
adaptasi organism biologis (Ash-Shadr,1993). James menganggap bahwa metode
instropeksi terlalu membatasi. Untuk mengetahui bagaimana organism beradaptasi
dengan lingkungannya, data yang berasal dari instropeksi harus dilengkapi oleh
observasi perilaku actual. Namun fungsionalisme masih menganggap psikologi
sebagai pengtahuan pengalaman sadar.
Sigmun Freud menyatakan kesadaran hanyalah sebagian
kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian terbesarnya justru
ketidaksadran atau alam bawah sadar. Freud berkeyakinan bahwa perilaku dan
kepribadian manusia banyak dipengaruhi oleh ketidaksadaran, sumber utama
konflik dan gangguan mental terletak pada ketidaksadran. Salah satu teori Freud
ingin membedakan behaviroisme dan psikologi Gestalt, dasar teori mengenai alam
bawah sadar adalah konsep bahwa keinginan yang tidak dapat diterima pada masa
anak-anak, dibuang dari kesdaran dan menjadi bagian bawah sadar dan tetap
berpengaruh.
Gestalt berarti bentuk, hal, peristiwa, pola, dan
totalitas (Dirganursa, 1996). Max Wertheimer mengkritik Wundt, menurutnya teori
Wundt yang khususnya mempelajari proses pengindraan dianggap terlalu
elemenistik, padahal persepsi terjadi secara menyeluruh, sekaligus dan
terorganisir, dan tidak secara parsial. Kesadaran dan jiwa manusia tidak
mungkin dianalisis ke dalam elemen-elemen namun harus dipelajari secara
totalitas. Pengalaman bergantung pada pola yang dibentuk oleh stimuli dan pada
organisasi pengalaman. Mannusia tidak memberikan respon pada stimuli secara
otomatis, melainkan menangkap dulu pola stimuli secara keseluruhan dalam satuan
yang bermakna.
Behaviroisme lahir sebagai reaksi terhadap
instropeksionisme, Watson tidak setuju instropeksi digunakan dalam penelitian
psiikolkogi. Kaum behavirois sangat mengagungkan poses belajar, tetrutama
proses belajar asosiatif atau proses belajar stimulus-respon. Manusia akan
berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitar.
Menurut Pavlov manusia pada dasarnya hanyalah terjadi dari jaringan saraf dan
otot yang bereaksi secara tertentu jika diberi rangsangan, bahkan Watson
menyatakan bahwa kepribadian manusia dapat diibentuk melalui pemberian
rangsangan tertentu.
HUBUNGAN PSIKOLOGI dengan ILMU LAIN
Moscovici seorang psikolog sosial perancis menyatakan
bahwa psikologi sosial adalah jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan
sosial lainnya. Sebab psikologi sosial mengakui pentingnya memandang individu
dalam suatu system sosial yang lebih luas dan karena itu menarik kedalamnya
sosiologi, ilmu politik, antropologi, dan ekonomi. Psikologi sosial mengakui
aktifitas manusia yang rentangnya luas dan pengaruh budaya serta perilaku
manusia dimasa lampau. Dalam mengambil fokus ini psikologi sosial beririsan
dengan filsafat, sejarah, seni dan musik. Selain itu psikologi sosial memiliki
perspektif luas dengan berusaha memahami relevansi dari proses internal dari
aktivitas manusia terhadap perilaku sosial.
Hubungan psikologi dan antropologi melahirkan
antropologi psikologikal. Abram Kardiner mengembangkan sejumlah pemikiranuntuk
studi kebudayaan dan kepribadian. Menurut Kardiner semua warga masyarakat
memiliki struktur kepribadian yang sama karena cenderung melakukan latihan yang
sama. Hampir semua penelitian yang mendalami kepribadian bangsa menyimpulkan
bahwa cirri kepribadian yang tampak berbeda pada bangsa bersumber pada cara
pengasuhan masa kanak-kanak. Psikologi dan antropoologi menghubungkan variasi
dalam pola budaya dan pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan dan kepercayaan
menjadi konsekuensi factor psikologi.
Dalam politik, psikologi misalnya digunakan untuk
menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilu. Konsep ini merujuk pada
persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih
terhadap partai tertentu.
Hubungan psikologi dengan biologi yaitu dapat dilihat
dari segi objek formalnya. Psikologi mempelajari tingkah laku manusia,
sedangkan biologi mempelajari fisik manusia. Menurut Bonner (dalam Sarwono,
1997 : 17), psikologi adalah ilmu subjektif dan biologi adalah ilmu yang
objektif. Psikologi mempelajari penginderaan dan persepsi manusia,menganggap
manusia sebagai subjek (pelaku), Psikologi mempelajari nilai yang berkembang
dari persepsi subjek, dan psikologi mempelajari perilaku secara ‘molar’
(perilaku penyesuaian diri secara menyeluruh. Sedangkan biologi mempelajari
manusia sebagai jasad/objek, mempelajari fakta yang diperoleh dari penelitian
terhadap jasad manusia, mempelajari perilaku manusia secara molekular, dan
mempelajari molekul-molekul dari perilaku berupa gerakan,refleks, proses
ketubuhan..dsb
Dari uraian di atas diketahui bahwa psikologi banyak
sekali manfaatnya bagi kehidupan manusia. Teori dan riset psikologi telah digunakan
dan diaplikasikan secra luas dalam berbagai lapangan kehidupan. Psikologi
digunakan oleh semua orang dengan segala profesinya dalam kehidupan ini.